MAKALAH
PERJANJIAN DAN
TAKLIK TALAK dalam PERNIKAHAN
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat
Yang di ampu oleh: Bapak Kholfan Zubair TS., M.Pd.I.
Kelompok
3:
1.
Wahni (146010004)
2.
Muhammad Afif
Azizy (146010007)
3.
Abdullah Ibnu
Sina (146010019)
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA
ISLAM
UNIVERSITAS
WAHID HASYIM SEMARANG
2016
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Kelebihan manusia adalah melengkapi kekurangan manusia lainnya,
dan Allah telah menciptakan manusia itu berpasang-pasang.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT Berfirman:
Q.S. Adz Dzariyaat ayat 49
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
49. Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasang supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.[1]
Ayat di atas menjelaskan bahwasanya hidup ini harus saling
melengkapi dan saling mengingatkan. Dan dalam mencapai itu semua kita harus
mencari pasangan yang sesuai agar nantinya dapat mencukupi kebutuhan lahiriah
dan batiniah kita dan nantinya akan kita resmikan dalam ikatan ibadah
perkawinan.
Di Indonesia, ketentuan mengenai perkawinan diatur dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Menurut pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
dan istri dengan tujuan membentuk keluarga dan rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan
bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah,
sebagaimana diatur dalam pasal 3 Kompilasi Hukum Islam.
Agar dapat tercapainya kehidupan yang sakinah, mawadah, rahmah
Prof. Subekti, S.H., berpendapat bahwa jika seseorang hendak kawin mempunyai
benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya
suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan.[2]
Dan perjanjian perkawinan tidak hanya digunakan untuk menuntut uang saja tetapi
dapat digunakan ketika suami melakukan sesuatu yang semena-mena.
Allah
SWT berfirman:
-
Q.S.
An-Nisa ayat 19
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
19.
Dan bergaullah dengan mereka secara patut.[3]
-
Q.S.
Al- Baqarah ayat 228.
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
228.
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara
yang ma’ruf.[4]
Dan ayat di
atas menjelaskan bahwasanya kehidupan ini semuanya memiliki hak yang sama pria
maupun wanita dan Allah telah memuliakan kaum wanita.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kami telah menyimpulkan beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1.
Pengertian
perjanjian pernikahan ?
2.
Macam-macam
sifat perjanjian ?
3.
Bentuk-bentuk
perjanjian ?
4.
Batalnya
suatu perjanjian pernikahan ?
5.
Pengertian
taklik talak ?
6.
Contoh
sighat dalam taklik talak ?
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Perjanjian Pernikahan
Perjanjian perkawinan (Huwelijks atau Huwelijks Voor
Warden) adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami-istri
sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. Perjanjian perkawinan ini lebih
bercorak hukum kekeluargaan (familie rechtelijk) sehingga tidak semua
ketentuan tentang hukum perjanjian yang termaktub dalam Buku III-BW berlaku.[5] Menurut
UUP No.1 Tahun 1974, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua
pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut (Pasal 29).[6] Menurut
KHI (Kompilasi Hukum Islam) waktu pembuatan perjanjian ialah pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat
Nikah mengenai kedudukan
harta dalam perkawinan (Pasal 47
ayat 1 KHI). Perjanjian perkawinan menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akte
notaries (Pasal 147 KUHPerdata) dan dibuat pada saat sebelum perkawinan
dilangsungkan (Pasal 148 KUHPerdata). Perjanjian perkawinan tidak boleh diubah
setelah perkawinan berlangsung (Pasal 149 KUHPerdata).[7]
Perjanjian pranikah sering
juga disebut dengan
perjanjian perkawinan. Jika
diuraikan secara etimologi, maka
dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan pernikahan. Dalam bahasa
Arab, janji atau perjanjian biasa disebut dengan atau,[8]
yang dapat diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang
telah dibuat bersama.[9]
Perjanjian dalam pelaksanaan perkawinan diatur dalam Pasal 29
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni sebagai berikut :
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak
ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.[10]
Penjelasan
Pasal 29 tersebut menyatakan bahwa perjanjian dalam pasal ini tidak termasuk
taklik talak. Namun dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11
disebutkan satu aturan yang bertolak belakang.
a. Calon suami istri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
b. Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian
itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
c. Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Yang menarik
adalah, kompilasi menggarisbawahi Pasal 11 Peraturan Menteri Agama tersebut.
Kompilasi sendiri memuat delapan pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu 45
sampai dengan pasal 52.
Pasal 45 menyatakan:
Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam
bentuk:
a. Taklik talak, dan
b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam
Jadi,
perjanjian perkawinan seperti ditegaskan dalam penjelasan Pasal 29
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, telah diubah, atau setidaknya, diterapkan bahwa
taklik talak termasuk salah satu macam perjanjian perkawinan.[11]
Selain itu,
perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh kedua belah pihak mengenai harta
bersama dan hal-hal lain sepanjang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Perjanjian perkawinan diatur oleh pasal 47 s.d. 52 Kompilasi Hukum Islam.[12]
Pasal 47 KHI
(1)
Pada
waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
(2)
Perjanjian
tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan
harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan
Islam.
(3)
Di
samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi
perjanjian itu menetapkan kewenangan
masing-masing untuk mengadakan ikatan
hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 48 KHI
(1)
Apabila
dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta
syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
(2)
Apabila
dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1)
dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.
Pasal 49 KHI
(1)
Perjanjian percampuran
harta pribadi dapat
meliputi semua harta,
baik yang dibawa
masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing
selama perkawinan.
(2)
Dengan
tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat (1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi
yang dibawa pada saat perkawinan
dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang
diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 50 KHI
(1)
Perjanjian
perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal
dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
(2)
Perjanjian
perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami istri
dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan
dilangsungkan.
(3)
Sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami istri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran
itu diumumkan suami istri dalam suatu surat kabar setempat.
(4)
Apabila
dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan
sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
(5)
Pencabutan
perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang
telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 51 KHI
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada istri
untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan
perceraian ke Pengadilan Agama.
Pasal 52 KHI
Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan istri kedua, ketiga dan
keempat, boleh diperjanjikan mengenai
tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi istri yang akan
dinikahinya itu.[13]
2.
Macam-macam sifat perjanjian
Kholil
Rahman mengintrodusasi macam-macam sifat perjanjian sebagai berikut:
a.
Syarat-syarat
yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda
pendapat dalam masalah ini, ada yang mengatakan sah, dan ada yang mengatakan
tidak sah. Sayid Sabiq misalnya, membolehkan si istri menuntut fasakh apabila
suami melanggar perjanjian tersebut.
b.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri.
Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris
di antara suami istri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan
lain-lain. Syarat –syarat semacam ini tidak sah dan tidak mengikat.
c.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah
dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus mau makan daging babi,
dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan nikahnya juga
tidak sah.
3.
Bentuk-bentuk Perjanjian
Seorang calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian
perkawinan bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak, harta
kekayaan atau harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Isi
perjanjian perkawinan menurut pada Pasal 34 UU No. 1 tahun 1974:
1.
Suami
wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya.
2.
Istri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3.
Jika
suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.
Perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai
pencatat nikah. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat
diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Pada dasarnya,
tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.
Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1
dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah
harta bersama atau harta syarikat,maka perjanjian tersebut tidak boleh
menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut
KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta
asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian
perkawinan.[14]
UUP No. 1 Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu
:
1.
Harta
asal/harta bawaan
2.
Harta
bersama
Harta asal
adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, dimana
pengurusanya diserahkan pada masing-masing pihak. Harta bersama adalah harta
yang dibentuk selama perkawinan. Berbeda dengan yang ada di KUHPerdata dalam UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetapi
dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan adanya perjanjian perkawinan,
maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama,
suami istri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama perkawinan.
Dalam
penjelasan Pasal 29 disebutkan bahwa taklik talak tidak termasuk dalam
perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum
perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis
atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila
telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para
pihak dan juga pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu
dimulai sejak perkawinan itu dimulai dan berlaku sejak perkawinan berlangsung
dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan
syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.[15]
4.
Batalnya Suatu Perjanjian
Pasal 51 KHI menetapkan, bahwa jika perjanjian perkawinan atau
taklik talak dilanggar, maka berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya
sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Menurut
UU No.1 Pasal 29 Tahun 1974 dan KHI, batalnya atau terhapusnya suatu perjanjian
perkawinan yaitu ketika :
1.
Suami/istri
melanggar apa yang sudah diperjanjikan.
2.
Suami
/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian perkawinan.[16]
5.
Taklik Talak
Taklik talak berasal
dari dua kata yaitu taklik dan talak. Menurut bahasa talak atau ithlaq
berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti
melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Taklik atau muallaq
artinya bergantung. Dengan demikian pengertian taklik talak adalah talak yang
jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat. Atau taklik talak adalah talak yang
digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian.
Atau taklik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah
diperjanjikan lebih dulu. Atau menggantungkan jatuhnya talak dengan
terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah sebuah talak yang jatuhnya
digantungkan pada suatu perkara yang telah disetujui.
Macam-macam taklik talak:
1. Taklik qasami adalah
taklik yang dimaksudkan seperti janji karena mengandung pengertian melakukan
pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar.
2. Taklik syarthi adalah
taklik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak jika telah terpenuhi syaratnya.
Adapun syarat sahnya taklik
talak yaitu:
a. Perkaranya belum ada
tetapi mungkin terjadi di kemudian hari.
b. Hendaknya istri ketika
lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak.
c. Ketika terjadinya
perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharan suami.
Perkara yang mungkin terjadi kemudian adalah perkara yang tidak
terjadi ketika taklik talak diucapkan serta bukan suatu perkara yang mustahil
terjadi. Jika perkara yang ditaklikkan itu hal mustahil terjadi maka
hanya dipandang main-main. Demikian halnya saat pengucapan taklik talak dan
ketika perkara yang ditaklikkan terjadi istri ada dalam pemeliharaan suami.
Dalam arti talak hanya berlaku bagi mereka yang memiliki ikatan perkawinan
tidak dibenarkan seorang laki-laki mengucapkan talak kepada perempuan yang
bukan istrinya.[17]
6.
Contoh Sighat Taklik Talak
Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya
kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan
sendirinya jatuh talak kepada istrinya. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974 merumuskan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama
No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:
Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan
sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami,
dan akan saya pergauli istri saya bernama ........ binti....... dengan baik (mu’asyarah
bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam
Selanjutnya
saya mengucapkan sighat taklik atas istri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu
saya:
(1) Meningalkan istri saya tersebut enam bulan
berturut-turut;
(2) Atau saya tidak memberi nafkah wajib
kepadanya tiga bulan lamanya;
(3) Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya
itu;
(4) Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri
saya itu enam bulan lamanya:
Kemudian istri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada
Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi pengaduan itu, dan
pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut,
dan istri saya membayar uang sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada
Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk menerima uang iwadl
(pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya kepada Badan Kesejahteraan
Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan ibadah sosial.[18]
PENUTUP
o Simpulan
·
Perjanjian
Pernikahan adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang calon suami-istri
sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat
perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.
·
Kholil
Rahman mengintrodusasi macam-macam sifat perjanjian sebagai berikut:
a.
Syarat-syarat
yang menguntungkan istri, seperti syarat untuk tidak dimadu.
b.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri.
Seperti, tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris-mewaris
di antara suami istri, dll.
c.
Syarat-syarat
yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah
dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, dll.
·
Seorang
calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian perkawinan bisa
bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak, harta kekayaan atau
harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
·
batalnya
atau terhapusnya suatu perjanjian perkawinan yaitu ketika :
-
Suami/istri
melanggar apa yang sudah diperjanjikan.
-
Suami
/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian perkawinan.
·
Taklik Talak adalah sebuah talak yang jatuhnya
digantungkan pada suatu perkara yang telah disetujui.
·
Macam-macam taklik talak:
1. Taklik qasami.
2. Taklik syarthi.
·
Adapun syarat sahnya taklik talak yaitu:
a. Perkaranya belum ada
tetapi mungkin terjadi di kemudian hari.
b. Hendaknya istri ketika
lahirnya akad talak dapat dijatuhi talak.
c. Ketika terjadinya
perkara yang ditaklikkan istri berada dalam pemeliharan suami.
·
Sighat taklik talak terdapat dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.
DAFTAR PUSTAKA
§ Rofiq, Ahmad. 2013.Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers.
§ Sohari, Tihami. 2013. Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap.
Jakarta: Rajawali Pers.
§ Tjitrosudibio, Subekti. 2008. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Jakarta: PT. pradnya paramita.
§ Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika
§ Subekti. 2002. Kamus Hukum.
Jakarta: Pradnya Paramita
§ Sudarsono. Kamus Hukum.Jakarta: Rineka Cipta
§ Mujib, Abduel, dkk. 1994. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: Pustaka
Firdaus.
§ Mulyadi. 1992. Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.
§ Subekti. 1989. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
§ Subekti. 1984. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT Intermasa.
§ Kansil. 1983. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Jakarta: PN Balai Pustaka.
§ Asis, Soetojo. 1982. Hukum Orang dan Keluarga. Bandung: Alumni.
§ Ko Tjay Sing. 1981. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat
Lengkap). Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
§ (http://kerandamimpi.blogspot.co.id/2012/03/taklik-talak-dalam-perspektif-kompilasi.html) di akses pada 26 oktober 2016 20:25
§ (http://aliranim.blogspot.co.id/2012/04/taklik-talak-dalam-perspektif-islam.html) di akses pada 26 oktober 2016 20:30
[1] http://tafsirq.com/51-az-zariyat/ayat-49
[2] Prof.
Subekti,S.H., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (cet. XVIII, Jakarta: PT Intermasa , 1984), hal.37.
[3] http://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-19
[4] http://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-228
[5] R.
Soetojo dan Asis, Hukum Orang dan Keluarga (Bandung: Alumni, 1982), hal. 94.
[6] Drs.
C.S.T. Kansil, S.H., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1983), hal. 220.
[7] R.
Subekti dan R. tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (cet. 39,
Jakarta: PT. pradnya paramita, 2008), hal. 35-36.
[8] M.
Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqih (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hal.
138.
[9] Sudarsono,
Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, TT), hal. 355.
[10]
Prof. Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), hal.41.
[11] Prof.
Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia (revisi cet. 1,
Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal.127-128.
[12] Prof.
Dr. H. Zainuddin Ali, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), hal.43.
[14] Mulyadi,
Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1992)
[15] Ko
Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang:
Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981), hal. 182.
[16] Subekti,
Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), hal. 38.
[17] http://aliranim.blogspot.co.id/2012/04/taklik-talak-dalam-perspektif-islam.html
[18]
http://kerandamimpi.blogspot.co.id/2012/03/taklik-talak-dalam-perspektif-kompilasi.html
0 komentar:
Post a Comment